CATATAN HARIAN SEORANG CGP KOTA MALANG
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN SEBAGAI
PEMIMPIN
PEMBELAJARAN DI SMPN 23 MALANG
(MENDIDIK
DENGAN HATI)
Manusia adalah “zoon politicon”
atau mahluk sosial. Artinya adalah, bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Karena
itu bersosialisasi dengan individu lain merupakan suatu kebutuhan dan
keharusan. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tidak bisa melepaskan
diri dari pengaruh dan ketergantungan orang lain. Hal itulah yang akhirnya
mendorong manusia pada kondisi tertentu harus membuat suatu keputusan.
Sebuah keputusan yang diambil,
terkadang membuat manusia dihadapkan pada kondisi dilema, baik itu untuk
kepentingan individu, ataupun kelompok, dalam sebuah organisasi (lembaga atau
instansi). Jika berbicara tentang pengambilan keputusan di sebuah organisasi,
maka keputusan tersebut mempunyai urgensi bagi keberlangsungan suatu organisasi.
Dimana pengambilan keputusan yang tepat akan berdampak pada perubahan suatu organisasi
ke arah yang lebih baik. Namun sebaliknya pengambilan keputusan yang kurang
tepat akan berdampak buruk pada roda organisasi dan administrasinya.
Sekolah
sebagai bagian dari sebuah organisasi tentu tidak bisa lepas dari peran seorang
guru sebagai pendidik. Dalam hal ini, guru harus bisa menjadi contoh atau
teladan bagi murid-muridnya. Dalam falsafah Jawa, guru berasal dari kata digugu lan ditiru, yang artinya seorang
guru itu harus dapat dipercaya dan diikuti. Hal itulah yang menjadi amanat
mereka yang mengemban tugas sebagai guru. Oleh karena itu, guru dituntut harus
mampu menjadi pemimpin terlebih
dahulu. Sejalan dengan hal itu, guru haruslah mampu memberikan contoh yang baik
kepada muridnya. Konsep tersebut harus “sejalan antara perkataan dan
perbuatan”. Dengan kata lain menjelaskan bahwa guru dituntut untuk bersikap
adil, yakni tidak hanya kepada murid, tetapi juga dirinya. Sehingga, jika guru
mengucapkan sesuatu, maka dirinya adalah orang pertama yang melakukannya. Hal
demikian merupakan langkah pertama untuk murid memberikan kepercayaan yang
penuh untuk mengikuti setiap langkah guru tersebut.
Sering kali guru sebagai pendidik dihadapkan
dengan berbagai permasalahan dalam upaya memberikan pendidikan terbaik terhadap
muridnya. Permasalahan dapat saja terjadi pada pribadi guru sendiri sebagai
pendidik, pada murid sebagai peserta didik ataupun pada komunitas sekolah
sebagai lingkungan pendidikan. Permasalahannya, upaya menemukan solusi dan
pengambilan keputusan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembelajaran
dan pendidikan secara menyeluruh.
Sebagai
seorang pemimpin dalam pembelajaran, guru selalu terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tersebut berkaitan dengan cara menemukan serta
mengupayakan solusi terbaik atas segala permasalahan yang terjadi dalam suatu
proses pembelajaran yang sedang dijalani oleh murid. Keputusan yang diambil
oleh guru sebagai pemimpin pembelajar haruslah kreatif mempertimbangkan segala
hal yang terkait dengan kebutuhan murid dan berpihak kepada murid sehingga
mampu melejitkan potensinya dalam proses pedewasaannya untuk kehidupan yang
lebih baik. Sekali lagi yang perlu ditebali dalam konteks pengambilan keputusan
sebagai pemimpin pembelajar bahwa apapun keputusan yang nanti akan diambil oleh
seorang pemimpin pembelajar dengan segala tantangannya, maka orientasi utamanya
adalah kembali kepada murid, murid dan
murid.
Berbicara tentang proses pengambilan
keputusan, guru harus mampu
berpikir kreatif, mempertimbangkan banyak hal sehingga keputusan yang diambil
dapat memberikan dampak positif pada pihak-pihak yang dilibatkan dalam keputusan
tersebut maupun terhadap lingkungan pendidikan secara umum. Untuk itu seorang
guru harus dapat dengan cermat membedakan apakah permasalahan yang dihadapi
terkait dengan bujukan
moral atau dilema etika sehingga dapat
memberikan arah yang jelas dalam pengambilan suatu keputusan.
Bujukan moral (benar vs salah) merupakan
situasi yang terjadi ketika seseorang harus membuat keputusan antara benar dan
salah. Berbeda dengan dilema etika. Dari pengalaman seseorang yang bekerja di
manapun, bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu ke
waktu. Ketika menghadapi situasi dilema etika, aka nada nilai nilai kebajikan
mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran,
keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggungjawab dan penghargaan akan
hidup.
Proses menyelesaikan suatu
permasalahan yang berhubungan dengan dilema etika perlu memperhatikan dan
menerapkan langkah langkah 4 paradigma dilema etika, 3 prinsip penyelesaian
dilema serta 9 langkah pemeriksaan dan pengujian dalam pengambilan keputusan.
Keterampilan pengambilan keputusan tersebut seyogyanya haruslah
dimiliki oleh seorang guru dalam menghasilkan suatu keputusan
terbaik yang berpihak kepada komunitas sekolah.
Demikian pentingnya pengambilan keputusan yang tepat dalam
suatu proses pendidikan, sehingga menjadi suatu komponen penting dan mempunyai
keterkaitan kuat dengan berbagai program serta upaya untuk memajukan pendidikan
yang mampu berdampak baik terhadap murid. Berikut penulis uraikan koneksi antar
materi dalam modul Program Pendidikan Guru Penggerak dengan Pengambilan
Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Filosofi Pratap Triloka
berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran
Dalam dunia
pendidikan, KHD mengenalkan sebuah Sistem Among yang pertama kali dikembangkan
di Taman Siswa. Metode Among ini berkaitan dengan kata dasar Mong yang mencakup Momong ( merawat dengan tulus),
Among (memberi contoh tanpa harus mengambil hak), dan Ngemong (proses
mengamati, merawat, menjaga). Dalam sikap yang Momong, Among, dan Ngemong tersebut
terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidik memberikan kebebasan atau
kemerdekaan. Makna kebebasan disini tidak hanya bebas sebebas-bebasnya,
melainkan kebebasan yang bertanggung
jawab. Dan pelaksana dari Momong, Among, dan Ngemong disebut Pamong,
yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Dalam hal ini KHD menyebutkan bahwa guru disebut pamong
yang bertugas mendidik dan mengajarkan anak sepanjang waktu. Guru sebagai
seorang pendidik sekaligus pengajar harus mampu membangun anak didik menjadi
manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas
dan berketerampilan, serta sehat jasmani ruhani agar menjadi anggota masyarakat
yang mandiri dan bertanggungjawab.
Sebagai
perannya dalam mendidik dan mengajar, guru sejatinya adalah pemimpin. Pemimpin bukan hanya untuk diri
sendiri, namun juga bagi orang lain khususnya murid. Kepemimpinan seorang guru
dalam pembelajaran sangat mempengaruhi bagimana proses belajar murid. Tentu,
hal itu tidak bisa lepas dari proses pengambilan keputusan. Dalam proses
pengambilan keputusan kiranya guru diharapkan dapat “menemu-kenali” murid, bila
perlu perilaku murid bolek dikoreksi namun tetap dilaksanakan dengan kasih
sayang.
Dalam menjalankan perannya sebagai
pemimpin pembelajaran, proses pengambilan keputusan hendaknya melibatkan murid
dalam suasana edukatif dan kolaboratif dengan Konsep Patrap Triloka sebagai sistem among ala Ki Hadjar Dewantara.
Konsep Patrap Triloka memuat unsur unsur dalam falsafah bahasa Jawa yakni:
1. Ing Ngarso Sung Tuladha (Di Depan Memberikan Teladan)
Sebagai guru atau sebagai pemimpin wajib
menjadi suri tauladan bagi muridnya. Dalam arti luas, hal itu berarti semua
orang yang berada di depan adalah teladan. Jika pemimpin, maka ia harus menjadi
teladan bagi orang orang yang dipimpinnya.
2. Ing Madyo Mangun Karsa (Di Tengah Memberikan Semangat)
Secara umum bahwa pemimpin harus bisa
memberikan motivasu dan membimbing bawahannya supaya dapat menciptakan karya
yang besar. Pemimpin tidak hanya menjadi contoh, tetapi juga harus memberikan
arahan dan bimbingan supaya belajar murid atau kinerja bawahannya lebih terarah
dan pasti. Sedangkan dalam pendidikan, guru dituntut harus dapat memberikan
bimbingan kepada muridnya agar mereka dapat menemukan bakat atau potensinya
dalam dirinya masing-masing. Tentunya dengan kesanggupan guru membimbing
sekaligus memotivasi serta melakukan upaya yang mendorong anak didiknya sekecil
apapun bentuk dorongannya untuk memompa semangat anak didiknya, akan timbul
rasa percaya diri tinggi dan mudah dalam meraih suatu kesuksesan.
3. Tut Wuri Handayani (Di Belakang Memberikan Dukungan)
Anak-anak, murid atau bawahan yang mulai muncul
rasa percaya diri perlu didorong untuk berada di depan. Guru atau pimpinan
perlu memberi dukungan dari belakang. Dalam konteks ini, sudah seharusnya
generasi tua memberikan kesempatan kepada generasi yang lebih muda untuk
berkiprah. Pemimpin diharapkan mampu mendidik dan mengembangkan yang
dipimpinnya agar terbentuk pula pemimpin-pemimpin baru yang berwibawa, sehingga
tercipta proses regenerasi yang sehat.
Manifestasi Nilai Guru
Penggerak dalam Prinsip Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran
Menurut Rokeach (dalam Modul PPGP
Nilai Guru Penggerak, dalam Hari, Abdul H, 2015), nilai merupakan keyakinan
sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan standar pengambilan keputusan
terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Esensi nilai dalam diri seorang guru dapat berfungsi
sebagai standar dalam mengambil posisi khusus dalam suatu masalah yang terkait
dengan proses pembelajaran sebagai bahan evaluasi dalam membuat keputusan,
bahkan dapat pula berfungsi sebagai motivasi dalam mengarahkan tingkah laku
murid dalam kehidupan sehari-hari. Melihat peranan nilai sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, terutama pada proses pengajaran dan pendidikan yang
dilakukan guru, maka penting bagi seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran
untuk bisa memahami dan menjiwai nilai nilai yang dijunjung tinggi.
Nilai nilai yang tertanam dalam
diri seorang guru, memiliki peranan penting serta berpengaruh dalam proses
pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Sebuah keputusan yang
diambil dengan mempertimbangkan nilai nilai kebajikan universal tentu berdampak
pada terciptanya sebuah learning community dimana semua
anggotanya adalah pemelajar. Guru
guru akan memimpin murid-muridnya untuk mengembangkan sikap sikap dan praktik
praktik yang saling mendukung tumbuhnya lingkungan belajar. Sebagai pemimpin
pembelajaran guru perlu menanamkan nilai nilai berikut dalam pengambilan sebuah
keputusan.
1) Nilai Mandiri
Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajar mendorong guru
untuk melakukan aksi serta mengambil tanggung jawab atas segala hal yang
terjadi pada dirinya dan menjadi keputusannya. Selain itu, nilai mandiri yang
tertanam menstimulus guru memulai sebuah perubahan sesuai dengan apa yang
diinginkan.
2) Nilai Reflektif
Suatu keputusan yang telah diambil, terkadang meninggalkan
ganjalan atau catatan khusus dalam perjalanannya. Namun, bagaimana seorang guru
mampu melihat kembali proses pengambilan keputusan serta memaknai pengalaman
yang terjadi untuk dijadikan acuan bagi langkah berikutnya. Nilai reflektif
yang dimiliki seorang pemimpin pembelajar dapat membuka kaca mata pemikiran
terhadap pengalaman baru yang dilaluinya, melakukan evaluasi serta mengidentifikasi
terhadap segala sesuatu yang perlu diperbaiki serta dikembangkan untuk
pengambilan keputusan yang tepat.
3) Nilai Kolaboratif
Pengambilan keputusan yang tepat dan baik membutuhkan data yang
lengkap, peran serta berbagai pihak terkait serta pemangku kepentingan yang
berada di lingkungan sekolah ataupun di luar sekolah. Manifestasi nilai
kolaboratif dalam pengambilan keputusan dapat membangun rasa percaya diri dan
rasa hormat antara guru dengan lingkungan sekolah, kerjasama, komunikasi
positif, serta memahami peran masing masing pihak dalam situasi tertentu.
4) Nilai Inovatif
Nilai inovatif akan tergambar dalam kreatifitas seorang guru sebagai pemimpin
pembelajaran dalam merumuskan suatu Opsi Trilema yang diambil
yang merupakan suatu solusi kreatif dalam melakukan pengambilan keputusan dari
9 langkah pemeriksaan dan pengujian keputusan yang dilakukan.
5)
Berpihak pada Murid.
Pada satu titik nantinya dimana seorang guru harus membuat
sebuah keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya. Namun segala hal yang diputuskan dan
dilakukan tersebut, maka tujuan utama adalah murid. Apapun dan bagaimanapun
suatu kondisi atau situasi sekolah, maka acuan utamaya adalah keberpihakan pada
murid
Pengambilan
Keputusan yang Mengintegrasikan Coaching dengan Model TIRTA
Menilik kembali kepada filosofi
Ki Hadjar Dewantara tentang peran utama guru (pamong), maka memahami pendekatan
coaching menjadi selaras dengan
Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk
menuntun kekuatan kodrat anak (murid). Selaras dengan hal itu, proses
pengambilan keputusan yang terkadang melibatkan pihak-pihak terkait pada
dasarnya merupakan suatu proses coaching
yang lebih kompleks dalam menyelesaikan suatu permasalahan dilema etika.
Seorang guru sebagai pengambil keputusan harus dapat bersikap afeksi atas apa
yang terjadi pada objek yang bermasalah, sehingga pemahaman dan sudut pandang secara
holistic pada objek permasalahan akan memandu guru untuk untuk membuat
keputusan yang lebih bijak, serta yang lebih penting menguntungkan pihak-pihak
yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut khususnya murid.
Salah satu paradigma pendampingan
coaching yang dapat diimplemetasikan
dalam proses pengambilan keputusan adalah Model TIRTA. Model TIRTA dikembangkan
dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk mampu melejitkan
potensi murid agar lebih merdeka. Berangkat dari tahapan Tujuan, Identifikasi,
Rencana Aksi dilanjutkan dengan Tanggung Jawab, Model TIRTA menjadi cara
efektif untuk menerapakan prinsip coaching
dalam proses menggali inti permasalahan, menggali potensi diri dan mulai
merumuskan solusi bersama sehingga pihak-pihak yang terlibat sama-sama
merasakan adanya upaya pengambilan keputusan tersebut adalah untuk kebaikan
bersama sehingga timbul rasa bertanggung jawab terhadap keputusan yang
dihasilkan.
Pada dasarnya, prinsip
pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran adalah menemukan solusi terbaik dari yang terbaik untuk
membantu murid dalam menyelesaikan semua permasalahan belajarnya dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan belajarnya, menuntun murid untuk tumbuh dan berkembang
dengan segenap kemampuannya dalam menghadapi permasalahan dan mampu
menyelesaikan permasalahan tersebut dengan potensi yang ada pada diri murid itu
sendiri. Keputusan yang diambil dalam suatu proses pengambilan dengan langkah
yang tepat pada akhirnya tetap akan bermuara pada suatu keputusan yang berpihak
kepada anak.
Implementasi
Pembelajaran Sosial Emosional dalam Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran merupakan suatu
pendewasaan paradigma pemahaman terhadap masalah yang sedang dihadapi. Seseorang
dituntut untuk berpikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut pandang yang
berbeda ketika akan mengambil sebuah keputusan. Seperti sebuah pesan baik dari
sahabat Rasululloh, Ali Bin Abi Thalib berkata bahwa “Jangan mengambil
keputusan ketika sedang marah, dan jangan membuat janji sewaktu sedang gembira”. Dari
pesan tersebut, pentingnya seorang guru memahami kondisi sosial emosional diri
sendiri sebelum melangkah dalam pengambilan keputusan.
Dalam pengambilan keputusan,
diperlukan pemikiran yang tenang, pengelolaan emosi serta dalam situasi penuh kesadaran (mindfullness). Dengan demikian, seorang dalam pengambilan
keputusan dapat berfikir jernih, bijak, serta tidak emosional. Dalam menyelesaikan suatu dilema etika
terkadang lebih banyak melibatkan emosi baik itu manajemen
diri (self management) yang merupakan
kemampuan diri dalam mengendalikan emosi agar dapat berfikir secara objektif
dalam menyelesaikan suatu permasalahan, kesadaran sosial (social
awareness) untuk memahami adanya nilai-nilai sosial yang didasari
dengan rasa empati yang mungkin dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. Biasanya keputusan dari suatu dilema etika yang didasari oleh rasa
empati diyakini dapat menghasilkan solusi emas dari setiap permasalahan. Namun,
tidaklah belaku demikian pada semua situasi.
Tentu saja dalam menyelesaikan
suatu permasalahan yang terkait orang lain atau orang banyak sangat dibutuhkan
kompetensi menjalin hubungan (relationship
skill) untuk dapat menggali banyak informasi yang dapat membantu
dalam proses pengambilan keputusan.
Pada akhirnya suatu pengambilan
keputusan yang sudah dilakukan dengan langkah-langkah dan pengujian yang tepat
tetap saja melibatkan tanggung jawab yang besar dalam implementasinya. Tanggung
jawab tersebut dapat saja berupa tanggung jawab moral bagi pengambil keputusan
(subjek) dan merupakan konsekuensi yang harus dijalani oleh murid sebagai objek
dari keputusan tersebut. Kedua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan
ini haruslah menerapkan kompotensi sosial emosional sebagai pengambil
keputusan yang bertanggungjawab (responsible
decision making)
Pengambilan
Keputusan yang Terintegrasi dalam Pembelajaran Berdiferensiasi
Menurut
Ki Hadjar Dewantar (KHD) bahwa tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat
yang ada pada anak anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Filosofi Pendidikan KHD menekankan pendidikan selain pada cipta, rasa, karsa namun juga harus mengedapkan pentingnya budi pekerti. Kekuatan itu akan memandu
segala kodrat alam dan kodrat zaman yang ada pada anak sehingga menjadi manusia
dan anggota masyarakat yang merdeka. Bila melihat dari kodrat zaman saat ini,
pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan
Abad 21 dengan tetap mempertahankan kodrat anak Indonesia yang mengutamakan
kearifan lokal budaya Indonesia.
Anak sebagai pribadi yang unik, dilahirkan
dengan segala perbedaannya, berbeda secara kodrat alam, kodrat zaman serta
kodrat keadaan. Namun, tak dipungkiri bahwa setiap anak berhak atas segala
kebahagiaan serta keselamatan hidupnya, baik sebagai manusia atau sebagai
anggota masyarakat. Dalam hal ini,
peranan guru sebagai pamong dalam proses pengajaran dan pendidikan haruslah
mampu merespon kebutuhan belajar murid. Selanjutnya perlu diingat bahwa guru
bukanlah dewa atau malaikat bersayap yang mampu memenuhi segala kebutuhan murid
dan memecahkan semua permasalahan. Tetapi, manajemen pengambilan keputusan
dalam proses pembelajaran bersama murid, sangatlah menentukan langkah awal
murid untuk sebuah perubahan yang besar.
Nah, seiring perkembangan kodrat zaman murid,
KHD menegaskan bahwa didiklah anak anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan
alam dan zamannya sendiri. Hal ini menuntut guru untuk mampu berinovasi dan
menyandingkan aktivitas belajar dengan kondisi zaman dimana murid tersebut
hidup. Guru juga harus berpikir cerdas dalam mengambil keputusan keputusan yang
mampu mengakomodir segala kebutuhan belajar murid, agar murid dapat tumbuh dan berkembang sesuai bakat serta
minatnya masing-masing.
Pengambilan keputusan tersebut agar relevan
dengan kebutuhan murid adalah yang terkait dengan tujuan pembelajaran yang
didefinisikan secara jelas, bagaimana guru menanggapi atau merepon kebutuhan
belajar murid, lingkungan belajar yang “mengundang” murid untuk belajar,
manajemen kelas yang efektif serta penilaian berkelanjutan. Lebih lanjut, serangkaian
pengambilan keputusan masuk akal (common
sense) yang dibuat guru dalam pembelajaran yang berorientasi kepada
kebutuhan murid sesungguhnya merupakan legitimasi pembelajaran berdiferensiasi
itu sendiri. Sebuah proses pembelajaran yang mampu menciptakan lingkungan
belajar untuk menumbuhkembangkan profil pelajar pancasila.
Ketepatan
Pengambilan Keputusan Berdampak pada Terciptanya Lingkungan Belajar yang
Positif, Kondusif, Aman dan Nyaman
Dalam upaya pengambilan keputusan
yang terkait dengan dilema etika haruslah mempertimbangkan dampak keputusan
yang kita ambil baik terhadap murid sebagai objek dari keputusan tersebut
maupun dampaknya terhadap lingkungan dalam hal ini sekolah sebagai sebuah
sistem pendidikan. Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian suatu masalah di
sekolah haruslah menjadi tolok ukur nilai baik bagi semua warga sekolah
sehingga timbul kesadaran setiap individu di lingkungan sekolah menerapkan
nilai-nilai baik tersebut menjadi budaya di sekolah. Suatu keputusan yang baik
tidak memuat suatu konsekuensi yang memberatkan si penerima keputusan namun
lebih kepada bagaimana melakukan refleksi terhadap keputusan yang diambil untuk
dapat dijadikan sebagai pelajaran dan panduan untuk menerapkan nilai-nilai
kebaikan yang berdampak kepada semua warga sekolah
Perubahan Paradigma
untuk Menjalankan Pengambilan Keputusan di Lingkungan Sekolah
Perubahan
bukanlah hal yang mudah diterima bagi warga di lingkungan sekolah. Membutuhkan
proses, konsistensi serta komitmen dari beberapa pihak untuk mewujudkannya. Bentuk
perubahan paradigma pengambilan keputusan yang tepat di lingkungan sekolah
dilakukan dengan pengujian untuk mengetahui apakah keputusan tersebut telah
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pengambilan keputusan secara etis. Ada 9
langkah yang perlu diperhatikan untuk memandu dalam pengambilan dan pengujian
keputusan dalam situasi dilema etika yang membingunkan karena adanya beberapa
nilai-nilai yang bertentangan.
1)
Mengenali
bahwa ada nilai nilai yang saling bertentangan dalam situasi tertentu